Kita masih dalam pembahasan yang sama mengenai “Menjawab Kerancuan Seputar Alkohol“. Kami harap para pembaca bisa bersabar dalam menanti tulisan ini karena masih ada seri-seri selanjutnya lagi. Juga kami sangat berharap sekali, pembaca bisa melihat kembali artikel-artikel sebelumnya tentang khomr, agar mendapatkan pemahaman yang utuh tentang tema yang kami angkat. Saat ini kita akan meninjau lagi apakah khomr (semacam arak, bir dan wiski) itu najis ataukah tidak. Semoga Anda bisa menemukan jawabannya dalam tulisan kali ini.
Mengenai khomr najis ataukah tidak, sejak masa silam para ulama telah berselisih pendapat.
Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama: Khomr itu Najis
Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama yaitu empat ulama madzab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi, Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, dan Syaikh Sholih Al Fauzan.
Dalil pendapat pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90) Dari ayat ini, mayoritas ulama berdalil bahwa khomr di samping haram, juga najis. Mereka memaknakan rijsun dalam ayat tersebut dengan najis yang riil.
Pendapat Kedua: Khomr Memang Haram, Namun Khomr Tidak Najis.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Robi’ah, Al Laits, Al Maziniy, dan ulama salaf lainnya. Sedangkan ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Asy Syaukani, Ash Shon’ani, Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh pendapat kedua ini.
Alasan pertama: Tidak ada dalil yang menyatakan najisnya khomr.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa tinjauan.
[1] Perlu diketahui bahwa kata rijsun yang disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 90 di atas adalah kata musytarok, yaitu mengandung banyak makna. Di antara maknanya adalah: kotor, haram, jelek, adzab, laknat, kufur, kejelekan, dan najis. [2] Kami tidak menemui tafsiran dari para ulama salaf yakni para sahabat yang memaknai rijsun dalam ayat tersebut dengan najis. Bahkan yang ditemukan adalah seperti perkataan Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan bahwa makna rijsun adalah as sakhthu (murka). Ibnu Zaid memaknakan rijsun adalah asy syar (kejelekan). [3] Kata rijsun ada dalam ayat lain selain dari ayat ini. Tidak ada dari ayat-ayat tersebut yang menggunakan rijsun dengan makna najis. Kita dapat menemukan hal ini dalam tiga ayat selain ayat di atas:Ayat pertama,
كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Begitulah Allah menimpakan siksa (ar rijs) kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al An’am: 125). Lihatlah makna ar rijs dalam ayat ini bukanlah najis, namun bermakna siksaan (adzab).
Ayat kedua,
إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
“Sesungguhnya mereka itu adalah kotor (rijsun) dan tempat mereka jahannam.” (QS. At Taubah: 95)
Ayat yang menerangkan mengenai kondisi orang musyrik di sini, kata rijs yang ada bukanlah bermakna najis namun bermakna qobih (sesuatu yang kotor).
Ayat ketiga,
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang rijs itu.” (QS. Al Hajj: 30)
Kata rijs dalam ayat ini bukanlah menunjukkan bahwa berhala itu najis secara riil. Namun makna rijs dalam ayat yang ketiga adalah sebab datangnya adzab.
[4] Dalam surat Al Maidah ayat 90 di atas terdapat juga kata lainnya yang dinamakan rijsun yaitu anshob (berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah. Padahal kedua hal ini tidaklah najis. Inilah dalil yang memalingkan makna rijsun dari makna najis yang riil (konkret) dan dialihkan ke makna najis yang sifatnya abstrak. Ringkasnya kata rijsun dalam ayat tersebut bermakna najis yang abstrak dan bukanlah najis yang riil (konkrit). Hal ini juga sebagaimana firman Allah yang menjelaskan mengenai kondisi orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28). Padahal terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dzat orang Musyrik tidaklah najis, namun yang dianggap najis (kotor) adalah aqidah dan amalan mereka. Pahamilah hal ini!
[5] Yang perlu diperhatikan lagi bahwa diharamkannya khomr tidaklah menunjukkan najisnya. Ingatlah kaedah yang biasa disebutkan oleh para ulama: Sesuatu yang haram belum tentu najis. Namun sesuatu yang najis pastilah haram. Semacam sutra adalah pakaian yang haram digunakan oleh pria, namun sutra tidak dikatakan najis. [6] Dalam surat Al Maidah ayat 90 dikatakan dalam penutup ayat bahwa amalan-amalan tadi termasuk amalan syaithon. Maka ini menunjukkan bahwa amalan tersebut adalah rijsun secara amal yang bermakna kotor, haram atau dosa, dan bukanlah rijsun yang bermakan najis hakiki (najis rill).Alasan kedua: Terdapat dalil yang menyatakan bahwa khomr itu suci (tidak najis).
Sebagaimana hal ini dapat kita lihat pada hadits dari Anas bin Malik tentang kisah pengharaman khomr. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru dengan berkata:
أَلاَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ
“Ketahuilah, khomr telah diharamkan.”[1]
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa ketika bejana-bejana khomr pun dihancurkan dan penuhlah jalan-jalan kota Madinah dengan khomr. Padahal ketika itu orang-orang pasti ingin melewati jalan tersebut. Jika khomr najis, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyuruh membersihkannya sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintakan untuk membersihkan kencing orang Badui di masjid. Jika khomr najis tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan orang-orang membuangnya di jalan begitu saja.
Alasan ketiga: hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Jika kita mau menilai sesuatu najis, termasuk pula khomr, maka perlu adanya dalil shahih yang memalingkannya dari hukum asalnya yang suci. Jika tidak ada dalil pemaling, maka kita tetap berpegang pada hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.
Pendapat Lebih Kuat
Dari dua pendapat ini, pendapat kedua dinilai lebih kuat, dengan tetap kami menghormati ulama yang beramal dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Kesimpulan: Khomr memang haram, namun tidaklah najis.[2]
Nantikan pembahasan selanjutnya, apakah khomr boleh digunakan untuk berobat.
Semoga Allah mudahkan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
Baca Juga:
[1] HR. Bukhari 2464 dan Muslim 1980, dari Anas.
[2] Pembahasan ini kami olah dari Shohih Fiqih Sunnah, 1/75-77